Rabu, 18 Maret 2009

PUYER

OBAT PUYER BERBAHAYA ?
Bila kita membicarakan masalah bahaya obat, tidak hanya obat dalam bentuk sediaan puyer yang berbahaya. Terutama bila tidak diserahkan dengan benar.
Benarkah puyer lebih murah ? Jawabannya tentu saja belum tentu. Banyak hal yang mempengaruhi harga obat. Bagaimanapun juga puyer dibuat dalam skala kecil, sehingga secara umum biaya produksi akan lebih mahal bila dibandingkan dengan diproduksi oleh pabrik obat yang skala industri. Dan seandainya selalu lebih murah tidak bisa digunakan untuk pembenaran keberadaan obat puyer, pembenaran yang seharusnya dipertimbangkan adalah rasionalisasi yang didukung oleh data.

Ada yang tidak setuju dengan puyer karena dianggap tidak bersih karena tidak diproduksi didalam ruang bersih (white area). Pada skala industri obat harus diproduksi didalam ruangan bersih, karena setelah diproduksi obat tidak lekas dikemas. Beda dengan pembuatan puyer skala kecil di apotek, obat berada dalam ruangan terbuka mungkin bisa kurang dari 5 menit, sehingga kemungkinan terkontaminasi juga kecil. Dan saya rasa puyer yang diproduksi kurang dari 5 menit masih layak.
Pembagian dosis lebih mudah dari pada sirup. Pada beberapa kasus puyer lebih disuka untuk anak-anak karena penyesuaian dosisnya mudah. Pada anak-anak seringkali dosis diperhitungkan terhadap berat badan, sehingga dengan membelah obat atau membagi obat sirup dengan sendok takar dianggap kurang tepat atau kurang ideal. Oleh karena itu bentuk sediaan puyer dianggap lebih luwes terhadap dosis anak-anak. Tetapi alasan inipun belum bisa menjadikan alasan puyer sebagai bentuk sediaan yang paling ideal.
Obat bisa rusak saat penggerusan, sehingga dikawatirkan obat sudah tidak manjur atau berbahaya saat sampai pada tangan pasien. Obat yang rusak pada saat penggerusan kenapa harus di puyer ? Secara umum dokter tidak belajar tentang sifat kimia fisik obat, sehingga pada kasus ini dokter harus tunduk kepada apoteker. Bila ternyata obat tidak layak untuk dipuyer sebaiknya dipilih bentuk sediaan lain. Dokter bukan segala-galanya dalam proses pengobatan, karena masih ada tenaga kesehatan lain yang lebih kompeten pada hal-hal tertentu.
Puyer berbahaya bila mortir tidak dicuci sebelum digunakan lagi. Ya iyalah, bila mortir tidak dicuci setelah digunakan dan langsung digunakan untuk menggerus puyer lain bisa jadi akan terjadi interaksi obat.
Ada sejumlah obat yang hilang selama proses penggerusan dan bisa jadi akan mengurangi dosis, sehingga dosis puyer mungkin akan under dose. Bila puyer dilakukan oleh tenaga yang tidak kompeten bisa jadi dosis yang hilang akan sangat signifikan. Tetapi bila pada proses peracikan dilakukan oleh tenaga yang kompeten, tentu saja jumlah yang hilang tersebut lebih dapat terabaikan. Bagaimanapun juga pengambilan obat kembali dari mortir ada tehnik yang dikuasai oleh apoteker.
Dan ada satu hal lagi, seharusnya tenaga kesehatan lain selain apoteker tidak boleh melakukan proses produksi obat meskipun dengan skala kecil termasuk puyer ini, demi menjaga keamanan pasien. Mengingat dokter bukan tenaga kesehatan yang berkompeten tentang sifat kimia obat dan stabilitas bahan obat maka disarankan kepada dokter untuk mengganti bentuk sediaan lain bila ada didaerah terpencil yang tidak ada apoteker praktek di apotek.

Pro dan Kontra Penggunaan Puyer

Beberapa Stasiun Televisi belakangan ini menyiarkan hasil investigasinya mengenai baik buruknya penggunaan puyer. Puyer adalah racikan beberapa macam obat yang digerus menjadi satu. Dari kegiatan meracik dan mengerus (menumbuk obat menjadi satu) inilah yang menjadi sorotan karena seringkali alat yang dipakai untuk menumbuk obat tersebut BEKAS dipakai untuk menumbuk racikan obat sebelumnya. Dikhawatirkan racikan obat sebelumnya bercampur dengan racikan obat baru.

Reportase tersebut tentang sisi positif dan negatif penggunaan puyer ini memicu pro dan kontra di masyarakat. Di satu sisi masyarakat diuntungkan karena murah dan sudah lama diyakini tidak menimbulkan masalah (atau karena belum terekspos saja korbannya). Di sisi lain jika melihat dari proses pengolahan yang tidak higienis, puyer cukup banyak memiliki dampak negatif.

Selain itu di Indonesia banyak praktisi kesehatan baik dokter, bidan dan perawat yang berani memberikan obat secara langsung kepada pasien dalam bentuk puyer. Padahal kewenangan memberikan atau meracik obat ada pada Farmakologis yang nota bene jauh lebih ahli dalam bidang farmakologi (So pasti ya... :P).
Banyak negara sudah meninggalkan pengobatan dalam bentuk puyer ini. Hanya Indonesia saja yang masih mempertahankan bentuk pengobatan dengan menggunakan puyer. Puyer sebenarnya tidak perlu dilarang selama dengan catatan peracikan higienis dan dilakukan ahlinya.
puyer adalah sediaan obat yang berbentuk bubuk.
Biasanya dibuat dari obat sediaan tablet yang kemudian digerus. Pada prakteknya, sediaan puyer sering berupa racikan beberapa obat yang dicampur menjadi satu. Kadang diberikan begitu saja dalam bentuk bubuk, atau kemudian dikemas dalam bentuk kapsul.

Ada Apa dengan Puyer?

POLEMIK puyer yang gencar ditayangkan salah satu stasiun TV beberapa waktu lalu mengundang reaksi masyarakat. Mereka yang semula pasrah bongkokan kepada dokter atau apotek tiba-tiba seperti diingatkan akan bahaya besar yang mengancam di balik sediaan obat bernama ”puyer”.
Masyarakat panik, banyak tanya dan curiga. Beberapa kali dalam sehari saya harus menjelaskan langsung, menjawab telepon yang masuk ke apotek, bahkan membuat brosur khusus (mengapa puyer aman dikonsumsi) orang tua, terutama ibu-ibu yang buah hatinya mendapatkan puyer.
Tak pelak lagi, dampak penayangan tersebut tidak saja membuat masyarakat bingung, tapi juga menjadi bahan komoditas kontroversi di kalangan pelaku serta praktisi kesehatan. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang dituding sebagai biang puyer didesak untuk mengeluarkan rekomendasi. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Departemen Kesehatan pun diminta segera mengeluarkan pernyataan resmi terkait polemik puyer tersebut.
Ada yang dilupakan, yaitu Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) aktor utama yang paling ahli secara legal dan keilmuan dalam memainkan peran apakah puyer layak dikonsumsi atau tidak.
Apa Itu?
Serbuk terbagi (pulveres) yang lazim disebut puyer merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi (selain sirup, tablet, cream, dsb) yang terdiri atas dua atau lebih campuran homogen obat yang digerus yang dibagi dalam bobot kurang lebih sama, dibungkus dengan kertas perkamen atau bahan pengemas. Racikan puyer itu bisa langsung dikonsumsi dengan dicampur air, biasanya untuk anak-anak atau bisa juga dimasukkan kapsul untuk orang dewasa.
Secara nalar, bentuk sediaan puyer tidak akan pernah bisa dihilangkan, walaupun konon sejarah puyer lahir karena keterbatasan obat untuk anak. Kemajuan teknologi formulasi melahirkan begitu banyak obat. Tapi, tetap saja puyer tidak tergantikan karena pengobatan bersifat individual.
Bukan hanya dosis yang disesuaikan, tapi juga penyakit penyerta yang lain, kemungkinan alergi, kecepatan absorbsi tubuh, dan kemudahan konsumsi pasien. Contoh, jika anak saya demam, dia lebih cepat sembuh jika diberi puyer racikan daripada minum sirup parasetamol atau Ibuprofen.
Bayi penderita ‘’sakit kuning” (ichterus jaundice) akan sembuh bila diberi phenobarbital dosis kecil yang mutlak harus dipuyer karena sediaan yang diproduksi oleh pabrik khusus dosis dewasa.
Kontroversi
Inti kontroversi puyer sebenarnya adalah masalah higienitas dan kebersihan. Masyarakat melihat dari tayangan TV betapa joroknya proses pembuatan puyer di salah satu apotek dan tempat praktik dokter yang melakukan dispensing. Bukan pada tempatnya mempermasalahkan dokter dispensing karena memang jelas-jelas salah secara undang-undang.
Kita ingat, sejak Maklumat Kaisar Frederick II pada 1240, ilmu obat-obatan (farmasi) dan ilmu pengobatan (kedokteran) sudah terpisah. Farmasis atau apoteker menjadi profesi resmi yang terpisah dari profesi dokter untuk menjamin bahwa masyarakat mendapat perawatan medis yang layak serta memperoleh obat yang baik dan cocok.
Jadi, apoteker adalah pihak yang mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian sesuai UU Kesehatan No 23/1992, PP No 32/1996 tentang Tenaga Kesehatan, dll.
Salah satu di antara empat elemen penting yang digariskan WHO dalam Good Pharmacy Practice adalah apoteker bertanggung jawab atas penyediaan dan penggunaan obat resep dokter dan produk pelayanan kesehatan lain. Ada pun salah satu lingkup kewenangannya adalah meracik menjadi sediaan yang sesuai kebutuhan, memberikan label, menyerahkan obat diikuti pemberian informasi yang cukup, menjamin pasien menggunakan obat dengan benar.
Dengan kata lain, jika ada apotek yang mengabaikan masalah higienitas dan kebersihan, itu adalah oknum. Sesekali ada baiknya ISFI menyidak dan memberikan sanksi kepada oknum yang mengabaikan tanggung jawab serta kewenangannya.
Aman Dikonsumsi
Seperti bentuk sediaan obat lainnya, puyer adalah aman. Ketika ramai diperdebatkan bahwa sediaan puyer rentan dosis, kemungkinan salah baca, polifarmasi dan efek samping obat lebih besar.
Pertanyaannya, apakah obat jadi lainnya juga tidak sama saja? Semua berpulang pada knowledge dan skill dokter serta apoteker. Dua profesi kesehatan itu telah cukup dibekali dan tidak ada larangan untuk berkomunikasi. Sudah jamak jika apotek kesulitan membaca resep, ragu-ragu tentang dosis obat, akan langsung menghubungi dokter penulis resep.
Satu lagi yang sangat penting adalah komunikasi ke pasien terkait dengan aturan pakai obat, cara pakai (ada puyer yang tidak boleh dicampur dengan susu), serta cara penyimpanan (menyangkut stabilitas obat).
Jika semua sudah dilakukan sesuai tatanan norma hukum dan etika profesi, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Maka, sebagaimana dikatakan dr Widodo Judarwanto (lihat tulisan lain di halaman ini), perdebatan soal puyer tidak pada substansinya.
Juga, sudah ditegaskan oleh Ketua IDAI dr Badriul Hegar SpA (K) dan Ketua Umum IDI Fahmi Idris, puyer adalah bentuk sediaan obat yang tidak berbahaya selama syarat ketentuan serta prosedur dilakukan secara baik dan benar. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari juga mengamini. Tidak semua obat puyer berbahaya.
Teruzz,, gmn yah pandangan Pak Indro, Dosen Pembimbing LKT (Laboratorium Kimia Terapan) mengenai puyer ini?
Kami telah bertanya langsung dengan beliau tepatnya setelah praktikum kimia makanan, sebelum melakukan wawancara, kami sempat gugup untuk membicarakan maksud kedatangan kami kepada Beliau.
Sinta : “Pak, maaf ganggu. Sekarang Bapak ada waktu luang ga?”
Gina : “Kami mau melakukan wawancara dengan Bapak buat mading KLIMAKS...”
Novi : “tentang puyer...”
Pak Indro : “Oia silakan, dmn?” (dengan nada senang hati...sambil menengok ke arah Bu Elvi...)
Bu Elvi : “Yawdah sana2 di luar jgn di sini, hareurin....”
Saking Baik hatinya Beliau langsung mempresentasikan materi puyer (kaya kuliah khusus z, di samping ada Bu Elvi jg yg ikut mencermati)
BTW apa kata Pak Indro yah, penasaran kan.. Nahhh,, Ini dia.. eksklusif bersama Pak Indro yang penuh nalar dan logika...

PIS (Pak Indro Says...) :
“ Sebelum Bapak menjelaskan tentang puyer, perlu diketahui yah bahwa obat itu adalah senyawa/ bahan kimia yang mempunyai efek meringankan, memulihkan, dsb. Kemudian ada jg sediaan obat, yaitu suatu formula dalam bentuk tertentu untuk tujuan spesifik, ada yang dalam bentuk tablet, injeksi, maupun puyer.

Obat mempunyai dosis terapeutik (menyembuhkan), yang terpenting adalah bagaimana caranya suatu obat untuk dapat mencapai dosis terapeutik. Jika melebihi dosis terapeutik, maka akan menimbulkan dosis toksik sehingga keracunan bahkan juga mencapai dosis letal sehingga menimbulkan kematian. Misal pada sediaan obat bentuk tablet sangat sulit menentukan dosis yang tepat, melihat luas permukaan tubuh setiap orang berbeda-beda, oleh karena itu yang menjadi patokan adalah usia, padahal meskipun usia sama tetapi dilihat dari bentuk fisik berat, tinggi badan, dll jelaslah tidak sama sehingga dosis obat kurang tepat. Di samping itu munculah puyer. Kenapa puyer diberikan? Alasannya adalah karena :
- Untuk menyesuaikan dengan dosis terapeutik (tepat)
- Dalam lapangan, biasanya dokter mendiagnosis pasien lebih dari satu macam penyakit. Tdk mungkin diberikan beragam obat karena itu sangat tidak efisien dan pasien pun akan enggan untuk meminumnya, sehingga adanya puyer sangat membantu mempermudah dalam pengobatan.
Maka perlu jadi PR buat para dokter dan Apoteker:
- Seharusnya yang boleh bekerja di apotek itu harus berkompeten
- Perlu ditingkatkan lagi profesi dokternya
Semuanya berpegang pada aturan, ketika puyer jadi masalah karena ada ORANG yang melenceng.”
Sinta : "Terus kenapa Pak, kemarin di salah satu stasiun tv digembar-gemborkan puyer itu bermasalah, "hati-hati dengan puyer?" Itu gimana sih Pak?"


Pak Indro : “Masalah tuh ada dua, pertama, pada beberapa kasus, Dokter tidak memperhatikan
sifat fisik, karakteristik, serta interaksi antar obat. Kedua, Di pihak
apotek, kebanyakan yang membuat puyer tidak bekompeten sehingga
dalam pembuatan tidak higienis, kotor, cara bagi tidak homogen, dan sebagainya.”


(selanjutnya mereka saling bercakap-cakap)
Sinta : “Truz Pak, kalo dalam pengemasan puyer
ada masalah ga, misal bungkusnya?”
Pak Indro :”mgenai masalah bungkus si ya gak ada masalah, kenapa kok bungkus dipermasalahkan, yang beredar di masyarakat adanya bungkus seperti itu, jadi yang dipakai ya bungkus itu. Orang Indoneia itu kalo ada masalah yang muncul selaluu saja dipermasalahkan itu produksinya, padahal yang salah itu kan sebenarnya yang di atas2nya sebelum prduksi.”
Sinta dan Gina : Jadi kalo gitu, ga ada yang salah dengan puyer yah Pak?
Pak Indro : “ Nah seperti Bapak bilang, Bapak itu paling suka jika segala sesuatu itu brada pada tempatnya. (termasuk puyer) apabila “dikemas” sesuai aturan, maka tidak ada yang bermasalah dengannya. Masalah muncul ketika semua keluar dari aturan tsb. Pada kasus puyer, knapa mesti dibingungkan? Masalah bisa terjadi karena ada orang yang melenceng. Bisa dari pihak dokter atau pihak apotik ataupun kerjasama antara keduanya yang disalahgunakan.. Jangan salahkan orang awam yang tidak mengerti apa-apa tentang puyer, pihak dokter dan apoteker lah yang seharusnya dipertanyakan, mengapa? Karena mereka lah yang bertanggung jawab untuk memberi penjelasan kepada masyarakat.”
Jadi kita itu jangan mudah percaya dengan segala pemberitaan yang ada baik di media massa, televisi, maupun internet karena tidak 100% benar. Kenapa?
  1. Eksplorasi tanpa pengetahuan cukup baik di pihak pemberi info maupun yang mendapat info. Contoh : seorang reporter yang dikejar-kejar waktu untuk segera mendapatkan berita secepatnya sehingga tanpa pikir panjang langsung memberitakan sesuatu meskipun tanpa penyaringan terlebih dahulu, sementara pemirsa yang menyaksikan langsung menerima saja kabar berita dan membenarkannya.
  2. Masyarakat Indonesia itu dididik bodoh dan senang dibodohi
Contoh: Selalu saja ada kepentingan/ misi tersembunyi dari media massa, entah itu untuk tujuan menjerumuskan penerima info (masyarakat) maupun persaingan antar stasiun tv (jika berita dari tv).
Masyarakat Indonesia senang dibodohi, lihat saja kasus Ponari. Banyak orang yang pergi mendatangi Ponari hingg mengantri panjang, bahkan smpai ada korban jiwa. Di sini yang salah siapa? Ponari atau Orang-orang? Sebenarnya yang salah di sini adalah para pemuka agama, mereka berkewajiban untuk memberi tahu, menegaskan kepada masyarakat bahwa Ponari ( memohon pada sebuah batu) itu termasuk musyrik. Media tidak mengekpos tentang hal tsb, yang diekspos hanya berita-berita buruknya saja.





Nsh... Scientist sekarng mengerti kan, PUYER. Mulai sekarang jangan terlalu percaya dengan berita yang ada, harus difilter dulu. Otreh...







Tidak ada komentar: